Kamis, 05 Maret 2009

Kiki: ‘Revolusi Kue Lapis’


AKU memandang cita-cita hidup ini seperti kue lapis: warna-warni.
Dulu ketika kecil, di kepalaku terbayang keinginan untuk menjadi seorang mayoret. Ini bermula, suatu ketika aku diajak bapak dan ibu menyaksikan sebuah karnaval di kotaku, Yogyakarta. Bagi warga kota kami--yang kuat dengan nilai-nilai tradisi tetapi juga sangat terbuka terhadap nilia-nilai modern-- karnawal menjadi tontonan yang sangat menarik: dimulai dari derap prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, barisan pemuda dan pelajar hingga orang-orang yang berpaian aneh. Namun ada yang istimewa: drum band mahasiswa dengan mayoret gadis cantik, anggun, dan bertubuh tinggi semampai. Sampai di rumah, sosok mayoret itu terus menari-nari di kepalaku. Dan sejak saat itu, aku pengin jadi mayoret. Mungkin menjadi semacam blessing: ketika duduk di bangku SMA Negeri 3 Yogyakarta dan pada masa awal kuliah di Fakultas Ekonomi UGM, aku resmi menjadi mayoret.

Ternyata cita-cita juga seperti bunga seruni (bunga kesukaanku) yang terus hidup dan tumbuh. Aku pun ingin menjadi seorang foto model. Jalan pun terbuka lapang: sejak SMA aku sudah malang melintang ’bergaya’ di depan kamera, bertaburan kilatan lampu blitz dan berlenggang lenggok di atas cat walk. Dari cat walk aku memasuki jagat kontestasi model Dimas Diajeng Yogyakarta tahun 1994.

Di sela-sela kuliah, aku sering ke Jakarta memasuki dunia entertainment: ya sebagai presenter, ya pemain sinetron. Aku sempat membintangi bebera sinetron, antara lain Bulan Masih Perawan, Anggling Darma, Panji, Doaku Harapanku bersama Kris Dayanti.


AKU mencoba memami dunia sinetron tidak semata-semata sebagai rich and famous: cara untuk kaya dan terkenal, seperti kamus hidup kebanyak orang Amerika yang di negeri ini diikuti banyak orang. Itu tidak buruk sepanjang dijalankan dengan sikap tanggung jawab dan bernilai. Namun, yang jauh lebih penting dari itu adalah mencoba belajar banyak tentang berbagai realitas kehidupan, bahkan yang paling keras dan kejam sekali pun. Aku juga mencoba belajar tentang etos kerja, etos kreatif dan profesionalisme.
Aku tak pernah hirau dengan predikat ‘selebritas’ yang diam-diam melekat dalam diriku. Aku tetaplah gadis Yogya, yang biasa dan selalu kikuk, selalu risi untuk ‘memberhalakan’ popularitas. Bukankah popularitas kadang bisa menjadi semacam ‘predator’ kebebasan kita? Bukankah popularitas kadang sering menjadi jebakan manis dan gemerlap yang justru melucuti otentisitas kemanusiaan? Ah, terlalu serius ya. Tapi biarlah…

AKU lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga Jawa yang sederhana. Keluargaku memiliki disiplin ketat dan sangat memuliakan ilmu pengetahuan dan pendidikan, ya semacam keluarga priyayi menengah. Setidaknya secara mental dan kulturnya. Karakter priyayi ini –jika boleh disebut begitu—sangat menjunjung tinggi keluhuran, kehalusan dan elegancy. Begitu pula dalam soal pekerjaan.

Bagi orang tuaku,--ayahku berprofesi sebagai dosen dan ibuku adalah ibu rumah tangga biasa-- pemain sinteron yang seperti profesi yang kusandang saat itu, merupakan pekerjaan ‘aneh’ bahkan ganjil: melawan main-stream cita-cita keluarga yang menginginkan anak-anaknya untuk menjadi priyayi, misalnya dosen, pengusaha, pegawai negeri, anggota TNI dan seterusnya. Pemain sinteron membawa memori mereka pada pekerjaan penghibur yang dalam kultur tradisional Jawa antara lain dikenal dengan sebutan ledhek. Ibuku, misalnya, tidak memandang profesi pemain sinteron itu rendah, namun ia hanya merasa kurang cocok saja dengan profesi itu. Beliau berharap aku menjadi seorang priyayi, tentu saja dalam ukuran beliau.

Harapan Ibu membuat aku gelisah. Profesi pemain sinteron yang selama ini kusandang, diam-diam membuat jiwaku rada gerah. Maka, aku pun mencoba banting stir cita-cita: menjadi produser film atau sinetron.

Namun cita-cita itu kandas didera keinginanku yang sangat kuat untuk kembali kuliah untuk menempuh pendidikan S2 di bidang ekonomi. Aku pun terbang ke Amerika kuliah di Universitas Fresno. Tenggelam dalam kesibukan akademis, mempelajari ekonomi derivasi selama empat tahun. Dan akhirnya aku lulus.


CITA-CITA ibarat kue lapis. Dan beberapa lapis kue itu sudah kunikmati dengan penuh rasa syukur. Maka, aku kini mengadapi lapis cita-cita lainnya: menjadi wanita karier. Setalah lulus S2, aku bekerja di Burasa Efek Indonesia (BEI) sebagai corporate secretary.

Wanita karir? Ah, betapa gagah predikat itu. Namun Anda tak perlu membayang hal-hal yang seram. Bagiku, rumusannya sederhanya: wanita karir adalah wanita yang independent, smart and beauty. Menurut aku, wanita itu tidak cukup cantik, baik secara fisik maupun inner beauty. Karena jika hanya mengandalkan kecantikan fisiknya, wanita akan tersandera pada keindahannya yang ujung-ujungnya menjadi semacam obyek yang dikuasai laki-laki.
Wanita harus mandiri secara ekonomi (memiliki penghasilan sendiri, mampu meng-cover sendiri kebutuhannya). Wanita juga harus mandiri secara sosial (memiliki individualitas, integritas, komitmen, sikap sosial, cita-cita personal dan cita-cita sosial), dan mandiri secara kultural (memiliki jati-diri/karakter budaya).
Untuk mampu mandiri, wanita harus memiliki kemampuan, ya ketrampilan teknis, ya kecerdasan. Wah, terlalu serius ya, kayak dosen aja (meskipun jelek-jelek aku ini juga pernah ngicipi jadi dosen).

Sering, secara gampangan, aku membayangkan sosok wanita mandiri itu seperti Hillary Clinton (menteri luar negeri Amerika) dan Sri Mulyani (menteri ekonomi). Mereka memukau publik semata-mata bukan karena kecantikannya, tapi kecerdasannya.

Kenapa aku akhirnya memasuki dunia birokrasi semacam BEI? Ada banyak alasan, misalnya karena bidang yang aku tekuni adalah ilmu ekonomi. Alasan lain, aku ingin bekerja di lembaga yang memiliki makna keberadaan yang signifikan (kalimat gagahnya). Jujur, aku menginginkan pekerjaan yang memiliki kepastian jenjang karir. Dan alasan lain, misalnya membahagiakan orang tua dan keluarga yang menginginkan aku menjadi ‘priyayi’, meskipun aku sama sekali tidak pernah berpikir soal predikat itu. Karena bagiku setiap pekerjaan yang baik dan bernilai selalu mulia. Konotasi ‘kepriyayian’ yang melekat dalam pekerjaan, hanyalah kategori sosial yang boleh untuk dilupakan…

MEMBACA jejak langkah kehidupanku, aku sering tertawa. Hidup kadang memiliki semacam keajaiban, memiliki lapisan-lapisan misteri yang tidak gampang ditundukkan oleh rencana dan keinginan. Hidup memiliki arus dinamikanya sendiri, di mana kita harus memiliki orientasi dan mampu mengendarainya. Hidup memiliki banyak tikungan, bahkan jebakan di mana kita harus waskito (memiliki kepekaan, kecerdasan dan kesadaran).
Seorang teman karib di Yogya bilang: hidup Kiki merupakan ‘revolusi’ radikal dari dunia mitos (baca: jagat entertainment) ke jagat rasional (dunia birokrasi ekonomi). Dunia entertainment, kata sahabatku, adalah jagat yang dibalut mitos-mitos tentang popularitas, kehidupan serba gemerlap, serba mewah penuh buncah-buncah impian. Sedangkan dunia birokrasi keuangan/ekonomi semacam BEI adalah dunia realitas yang dibangun oleh kepastian: dunia yang menuntut rasionalitas karena semuanya serba terukur dan ternilai. Serem banget, rumusan itu.

Di tempat tinggalku di Jakarta, aku sering membayangkan rumahku yang tenang dan teduh di Yogya. Salah satu yang mengesankan adalah kue lapis yang selalu disediakan ibuku setiap pulang dari pasar. Ketika masih kanak-kanak, kue lapis itu seperti benda ‘ajaib’ yang sulit kubayangkan bagaimana cara membuatnya. Kini ‘kue lapis’ itu hadir kembali dari pita ingatanku. Kue lapis bernama cita-cita itu sudah terkelupas satu-persatu, hingga sampai pada lapisan terakhir.

Setiap lapisan ‘kue lapis’ itu merekam jejak perjalanku yang digenangi keringat kerja keras dan harapan sederhana: menjadi Manusia Kiki. Seutuhnya Kiki.

1 komentar: