Kamis, 05 Maret 2009

Mimpi Buruk Perempuan


Masyarakat dunia sering memperingati Hari Internasional Penghapusan Kekerasan
terhadap Perempuan. Namun, di Indonesia, kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan masih terus saja terjadi. Sistem budaya masih jadi kendala.

MIMPI buruk menghinggapi Hartini setelah pernikahannya dengan Deni memasuki
tahun keempat. Suaminya kini berubah. "Waktu pacaran dia adalah sosok pria yang
lemah lembut. Tetapi, kini dia sering memarahi saya. Selalu membentak kalau
dirinya merasa tidak dilayani," ujarnya.

Kelembutan yang ditunjukkan Deni selama mereka masih berpacaran kini tidak ada
lagi. Yang ada, setiap hari Hartini selalu merasa tertekan karena ulah kasar
sang suami. Namun, perempuan itu tidak mampu berbuat apa-apa. Dia hanya bisa
mencoba memaklumi kondisi suami.

"Yah, mungkin Mas Deni stres dengan pekerjaannya. Perusahaannya memang sedang
di ambang kebangkrutan," ungkap Hartini.

Hampir sama dengan apa yang dialami Hartini, Yuli yang sudah menikah selama
bertahun-tahun juga belakangan harus sering mengelus dada menerima perlakuan
suaminya. Sang suami, mantan direktur sebuah perusahaan, belakangan sering
bertindak kasar. Walaupun tidak sampai dikasari secara fisik, mendengar
bentakan dan teriakan suaminya saja Yuli jadi ketakutan.

"Sekarang suami saya sering marah dan teriak-teriak. Mendengar teriakannya,
saya sering terkaget-kaget," ujarnya.

Tetapi, lagi-lagi, Yuli hanya bisa mencoba menerima perlakuan suaminya. Dia
menganggap kebiasaan suaminya sebagai dampak masa pascapensiun. Kedua perempuan
itu tidak menyadari sesungguhnya mereka telah mengalami kekerasan. Dan mereka
menerima semua itu sebagai kodrat seorang istri, seorang perempuan. Yang harus
lembut, sabar, dan selalu mengalah.

Padahal, seperti diungkapkan Yulfita Rahardjo dalam buku Sumber untuk Advokasi
Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi, Gender, dan Pembangunan Kependudukan
yang diterbitkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan The
United Nations Population Fund, fenomena kekerasan terhadap kaum perempuan
sebenarnya berbasis pada adanya diskriminasi kekuasaan.

Ada beberapa asumsi yang mengatakan kekerasan terhadap perempuan sebenarnya
terjadi karena adanya sistem budaya patriarkat, interpretasi agama, dan
kekeliruan pengaruh fedodalisme maupun kehidupan sosial, ekonomi, dan politik
yang tidak adil bagi perempuan.

"Hal-hal itu yang menyebabkan perempuan masih menganggap sesuatu yang biasa
ketika dia dianiaya, direndahkan, atau diabaikan hak-haknya oleh suaminya,"
ujar Kiki Widyasari, aktivis perempuan yang ikut bergiat mendesak pemerintah
mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT),
setahun silam.

Sistem budaya
Dalam kaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, terutama di lingkungan
keluarga, Indonesia sesungguhnya sudah memiliki undang-undang (UU) mengenai
kekerasan dalam rumah tangga yang tertuang dalam UU No 23/2004.

Dalam UU itu diatur untuk kekerasan dalam rumah tangga ada sanksi pidana, di
luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, diatur bentuk-bentuk
kekerasan yang masuk KDRT, seperti kekerasan terhadap fisik, seksual, dan
psikologis.

Termasuk apabila suami terinfeksi HIV/AIDS dan tidak menceritakan kepada istri
atau pasangannya, kemudian tetap saja menggauli istrinya, dianggap sebagai
bagian dari kekerasan seksual terhadap perempuan. Sebab, istri atau pasangannya
akan terinfeksi dan menularkan kepada anaknya.

Tetapi, kendati UU tersebut telah disahkan selama setahun, berdasarkan pantauan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) masih
banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan di dalam keluarga. Salah satu
faktor penyebabnya, terlalu banyak beda persepsi antarpenegak hukum menyangkut
bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Selain itu, sistem budaya akhirnya menyebabkan penerapan UU tersebut terhambat.
Perempuan korban KDRT jarang yang menjalankan proses hukum sampai tuntas. Masih
banyak perkara yang ditarik kembali, setelah mulai diproses polisi. Akibatnya,
persentase perkara KDRT yang sampai ke meja persidangan sangat kecil bila
dibandingkan dengan total kasus KDRT yang terjadi di masyarakat.

Dari data lembaga bantuan hukum khusus perempuan dan HAM LBH APIK, dari 300
aduan yang diajukan, hanya lima aduan yang terus diproses sampai ke pengadilan.
Sisanya ditarik kembali oleh pelapor. "Pada kenyataannya demikian. Pencabutan
aduan ini memang dilatarbelakangi budaya masyarakat. Ini persoalan rumah
tangga, aib bagi perempuan untuk mengungkapkan peristiwa yang terjadi di dalam
rumah tangganya. Maka, perempuan memilih diam dan memendam dalam semua
persoalan agar tidak mencuat keluar," kata Ketua Sub Komisi Pemulihan Korban
Kekerasan pada Perempuan Komnas Perempuan Myra Diarsi.

Dan tidak dapat dimungkiri, saat ini masih banyak perempuan yang merasa
bersalah ketika melaporkan suami yang telah dianggapnya mengabaikan atau
melanggar hak-haknya. Bahkan, banyak yang malu sehingga mendiamkan saja
kekerasan terus terjadi pada dirinya. "Ini yang harus disadarkan terus melalui
berbagai kampanye," ungkap Kemala.

Siswantini Suryandari, Eri Anugerah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar