Jumat, 06 Maret 2009

Kritik Sosial Kiki

LAMA tak terdengar kiprahnya, rupanya Friderica Widyasari Dewi, biasa disapa Kiki Widyasari, bermukim di luar negeri. Ia menyabet master of business administration dari California State University of Fresno, Amerika Serikat. Tiba di Jakarta, alumnus Fakultas Ekonomi UGM ini tak langsung berburu job main sinetron. "Saya ingin berbuat sesuatu untuk memperbaiki bangsa ini," kata cewek kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 28 November 1975 itu.

Artis yang namanya melambung lewat sinetron Bulan Bukan Perawan ini malah jadi aktivis. Bersama Wanda Hamidah, Nurul Arifin, dan Rieke Dyah Pitaloka, ia membentuk Komunitas Artis Peduli Politik dan Sosial (KAPPS). KAPPS mengutak-atik isu kekerasan dalam rumah tangga.

Maklum, anggota KAPPS kaum hawa juga. "Selain itu, artis banyak juga yang jadi korban kekerasan," kata cewek dengan tinggi 168 cm itu. Aktivitas ini sekalian menjadi pos tunggu, sebelum ia melanjutkan studi ke jenjang doktoral, tahun depan.

Gatra Nomor 45 - Jumat 17 September 2004

Kamis, 05 Maret 2009

Mimpi Buruk Perempuan


Masyarakat dunia sering memperingati Hari Internasional Penghapusan Kekerasan
terhadap Perempuan. Namun, di Indonesia, kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan masih terus saja terjadi. Sistem budaya masih jadi kendala.

MIMPI buruk menghinggapi Hartini setelah pernikahannya dengan Deni memasuki
tahun keempat. Suaminya kini berubah. "Waktu pacaran dia adalah sosok pria yang
lemah lembut. Tetapi, kini dia sering memarahi saya. Selalu membentak kalau
dirinya merasa tidak dilayani," ujarnya.

Kelembutan yang ditunjukkan Deni selama mereka masih berpacaran kini tidak ada
lagi. Yang ada, setiap hari Hartini selalu merasa tertekan karena ulah kasar
sang suami. Namun, perempuan itu tidak mampu berbuat apa-apa. Dia hanya bisa
mencoba memaklumi kondisi suami.

"Yah, mungkin Mas Deni stres dengan pekerjaannya. Perusahaannya memang sedang
di ambang kebangkrutan," ungkap Hartini.

Hampir sama dengan apa yang dialami Hartini, Yuli yang sudah menikah selama
bertahun-tahun juga belakangan harus sering mengelus dada menerima perlakuan
suaminya. Sang suami, mantan direktur sebuah perusahaan, belakangan sering
bertindak kasar. Walaupun tidak sampai dikasari secara fisik, mendengar
bentakan dan teriakan suaminya saja Yuli jadi ketakutan.

"Sekarang suami saya sering marah dan teriak-teriak. Mendengar teriakannya,
saya sering terkaget-kaget," ujarnya.

Tetapi, lagi-lagi, Yuli hanya bisa mencoba menerima perlakuan suaminya. Dia
menganggap kebiasaan suaminya sebagai dampak masa pascapensiun. Kedua perempuan
itu tidak menyadari sesungguhnya mereka telah mengalami kekerasan. Dan mereka
menerima semua itu sebagai kodrat seorang istri, seorang perempuan. Yang harus
lembut, sabar, dan selalu mengalah.

Padahal, seperti diungkapkan Yulfita Rahardjo dalam buku Sumber untuk Advokasi
Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi, Gender, dan Pembangunan Kependudukan
yang diterbitkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan The
United Nations Population Fund, fenomena kekerasan terhadap kaum perempuan
sebenarnya berbasis pada adanya diskriminasi kekuasaan.

Ada beberapa asumsi yang mengatakan kekerasan terhadap perempuan sebenarnya
terjadi karena adanya sistem budaya patriarkat, interpretasi agama, dan
kekeliruan pengaruh fedodalisme maupun kehidupan sosial, ekonomi, dan politik
yang tidak adil bagi perempuan.

"Hal-hal itu yang menyebabkan perempuan masih menganggap sesuatu yang biasa
ketika dia dianiaya, direndahkan, atau diabaikan hak-haknya oleh suaminya,"
ujar Kiki Widyasari, aktivis perempuan yang ikut bergiat mendesak pemerintah
mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT),
setahun silam.

Sistem budaya
Dalam kaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, terutama di lingkungan
keluarga, Indonesia sesungguhnya sudah memiliki undang-undang (UU) mengenai
kekerasan dalam rumah tangga yang tertuang dalam UU No 23/2004.

Dalam UU itu diatur untuk kekerasan dalam rumah tangga ada sanksi pidana, di
luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, diatur bentuk-bentuk
kekerasan yang masuk KDRT, seperti kekerasan terhadap fisik, seksual, dan
psikologis.

Termasuk apabila suami terinfeksi HIV/AIDS dan tidak menceritakan kepada istri
atau pasangannya, kemudian tetap saja menggauli istrinya, dianggap sebagai
bagian dari kekerasan seksual terhadap perempuan. Sebab, istri atau pasangannya
akan terinfeksi dan menularkan kepada anaknya.

Tetapi, kendati UU tersebut telah disahkan selama setahun, berdasarkan pantauan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) masih
banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan di dalam keluarga. Salah satu
faktor penyebabnya, terlalu banyak beda persepsi antarpenegak hukum menyangkut
bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Selain itu, sistem budaya akhirnya menyebabkan penerapan UU tersebut terhambat.
Perempuan korban KDRT jarang yang menjalankan proses hukum sampai tuntas. Masih
banyak perkara yang ditarik kembali, setelah mulai diproses polisi. Akibatnya,
persentase perkara KDRT yang sampai ke meja persidangan sangat kecil bila
dibandingkan dengan total kasus KDRT yang terjadi di masyarakat.

Dari data lembaga bantuan hukum khusus perempuan dan HAM LBH APIK, dari 300
aduan yang diajukan, hanya lima aduan yang terus diproses sampai ke pengadilan.
Sisanya ditarik kembali oleh pelapor. "Pada kenyataannya demikian. Pencabutan
aduan ini memang dilatarbelakangi budaya masyarakat. Ini persoalan rumah
tangga, aib bagi perempuan untuk mengungkapkan peristiwa yang terjadi di dalam
rumah tangganya. Maka, perempuan memilih diam dan memendam dalam semua
persoalan agar tidak mencuat keluar," kata Ketua Sub Komisi Pemulihan Korban
Kekerasan pada Perempuan Komnas Perempuan Myra Diarsi.

Dan tidak dapat dimungkiri, saat ini masih banyak perempuan yang merasa
bersalah ketika melaporkan suami yang telah dianggapnya mengabaikan atau
melanggar hak-haknya. Bahkan, banyak yang malu sehingga mendiamkan saja
kekerasan terus terjadi pada dirinya. "Ini yang harus disadarkan terus melalui
berbagai kampanye," ungkap Kemala.

Siswantini Suryandari, Eri Anugerah

Kiki: ‘Revolusi Kue Lapis’


AKU memandang cita-cita hidup ini seperti kue lapis: warna-warni.
Dulu ketika kecil, di kepalaku terbayang keinginan untuk menjadi seorang mayoret. Ini bermula, suatu ketika aku diajak bapak dan ibu menyaksikan sebuah karnaval di kotaku, Yogyakarta. Bagi warga kota kami--yang kuat dengan nilai-nilai tradisi tetapi juga sangat terbuka terhadap nilia-nilai modern-- karnawal menjadi tontonan yang sangat menarik: dimulai dari derap prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, barisan pemuda dan pelajar hingga orang-orang yang berpaian aneh. Namun ada yang istimewa: drum band mahasiswa dengan mayoret gadis cantik, anggun, dan bertubuh tinggi semampai. Sampai di rumah, sosok mayoret itu terus menari-nari di kepalaku. Dan sejak saat itu, aku pengin jadi mayoret. Mungkin menjadi semacam blessing: ketika duduk di bangku SMA Negeri 3 Yogyakarta dan pada masa awal kuliah di Fakultas Ekonomi UGM, aku resmi menjadi mayoret.

Ternyata cita-cita juga seperti bunga seruni (bunga kesukaanku) yang terus hidup dan tumbuh. Aku pun ingin menjadi seorang foto model. Jalan pun terbuka lapang: sejak SMA aku sudah malang melintang ’bergaya’ di depan kamera, bertaburan kilatan lampu blitz dan berlenggang lenggok di atas cat walk. Dari cat walk aku memasuki jagat kontestasi model Dimas Diajeng Yogyakarta tahun 1994.

Di sela-sela kuliah, aku sering ke Jakarta memasuki dunia entertainment: ya sebagai presenter, ya pemain sinetron. Aku sempat membintangi bebera sinetron, antara lain Bulan Masih Perawan, Anggling Darma, Panji, Doaku Harapanku bersama Kris Dayanti.


AKU mencoba memami dunia sinetron tidak semata-semata sebagai rich and famous: cara untuk kaya dan terkenal, seperti kamus hidup kebanyak orang Amerika yang di negeri ini diikuti banyak orang. Itu tidak buruk sepanjang dijalankan dengan sikap tanggung jawab dan bernilai. Namun, yang jauh lebih penting dari itu adalah mencoba belajar banyak tentang berbagai realitas kehidupan, bahkan yang paling keras dan kejam sekali pun. Aku juga mencoba belajar tentang etos kerja, etos kreatif dan profesionalisme.
Aku tak pernah hirau dengan predikat ‘selebritas’ yang diam-diam melekat dalam diriku. Aku tetaplah gadis Yogya, yang biasa dan selalu kikuk, selalu risi untuk ‘memberhalakan’ popularitas. Bukankah popularitas kadang bisa menjadi semacam ‘predator’ kebebasan kita? Bukankah popularitas kadang sering menjadi jebakan manis dan gemerlap yang justru melucuti otentisitas kemanusiaan? Ah, terlalu serius ya. Tapi biarlah…

AKU lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga Jawa yang sederhana. Keluargaku memiliki disiplin ketat dan sangat memuliakan ilmu pengetahuan dan pendidikan, ya semacam keluarga priyayi menengah. Setidaknya secara mental dan kulturnya. Karakter priyayi ini –jika boleh disebut begitu—sangat menjunjung tinggi keluhuran, kehalusan dan elegancy. Begitu pula dalam soal pekerjaan.

Bagi orang tuaku,--ayahku berprofesi sebagai dosen dan ibuku adalah ibu rumah tangga biasa-- pemain sinteron yang seperti profesi yang kusandang saat itu, merupakan pekerjaan ‘aneh’ bahkan ganjil: melawan main-stream cita-cita keluarga yang menginginkan anak-anaknya untuk menjadi priyayi, misalnya dosen, pengusaha, pegawai negeri, anggota TNI dan seterusnya. Pemain sinteron membawa memori mereka pada pekerjaan penghibur yang dalam kultur tradisional Jawa antara lain dikenal dengan sebutan ledhek. Ibuku, misalnya, tidak memandang profesi pemain sinteron itu rendah, namun ia hanya merasa kurang cocok saja dengan profesi itu. Beliau berharap aku menjadi seorang priyayi, tentu saja dalam ukuran beliau.

Harapan Ibu membuat aku gelisah. Profesi pemain sinteron yang selama ini kusandang, diam-diam membuat jiwaku rada gerah. Maka, aku pun mencoba banting stir cita-cita: menjadi produser film atau sinetron.

Namun cita-cita itu kandas didera keinginanku yang sangat kuat untuk kembali kuliah untuk menempuh pendidikan S2 di bidang ekonomi. Aku pun terbang ke Amerika kuliah di Universitas Fresno. Tenggelam dalam kesibukan akademis, mempelajari ekonomi derivasi selama empat tahun. Dan akhirnya aku lulus.


CITA-CITA ibarat kue lapis. Dan beberapa lapis kue itu sudah kunikmati dengan penuh rasa syukur. Maka, aku kini mengadapi lapis cita-cita lainnya: menjadi wanita karier. Setalah lulus S2, aku bekerja di Burasa Efek Indonesia (BEI) sebagai corporate secretary.

Wanita karir? Ah, betapa gagah predikat itu. Namun Anda tak perlu membayang hal-hal yang seram. Bagiku, rumusannya sederhanya: wanita karir adalah wanita yang independent, smart and beauty. Menurut aku, wanita itu tidak cukup cantik, baik secara fisik maupun inner beauty. Karena jika hanya mengandalkan kecantikan fisiknya, wanita akan tersandera pada keindahannya yang ujung-ujungnya menjadi semacam obyek yang dikuasai laki-laki.
Wanita harus mandiri secara ekonomi (memiliki penghasilan sendiri, mampu meng-cover sendiri kebutuhannya). Wanita juga harus mandiri secara sosial (memiliki individualitas, integritas, komitmen, sikap sosial, cita-cita personal dan cita-cita sosial), dan mandiri secara kultural (memiliki jati-diri/karakter budaya).
Untuk mampu mandiri, wanita harus memiliki kemampuan, ya ketrampilan teknis, ya kecerdasan. Wah, terlalu serius ya, kayak dosen aja (meskipun jelek-jelek aku ini juga pernah ngicipi jadi dosen).

Sering, secara gampangan, aku membayangkan sosok wanita mandiri itu seperti Hillary Clinton (menteri luar negeri Amerika) dan Sri Mulyani (menteri ekonomi). Mereka memukau publik semata-mata bukan karena kecantikannya, tapi kecerdasannya.

Kenapa aku akhirnya memasuki dunia birokrasi semacam BEI? Ada banyak alasan, misalnya karena bidang yang aku tekuni adalah ilmu ekonomi. Alasan lain, aku ingin bekerja di lembaga yang memiliki makna keberadaan yang signifikan (kalimat gagahnya). Jujur, aku menginginkan pekerjaan yang memiliki kepastian jenjang karir. Dan alasan lain, misalnya membahagiakan orang tua dan keluarga yang menginginkan aku menjadi ‘priyayi’, meskipun aku sama sekali tidak pernah berpikir soal predikat itu. Karena bagiku setiap pekerjaan yang baik dan bernilai selalu mulia. Konotasi ‘kepriyayian’ yang melekat dalam pekerjaan, hanyalah kategori sosial yang boleh untuk dilupakan…

MEMBACA jejak langkah kehidupanku, aku sering tertawa. Hidup kadang memiliki semacam keajaiban, memiliki lapisan-lapisan misteri yang tidak gampang ditundukkan oleh rencana dan keinginan. Hidup memiliki arus dinamikanya sendiri, di mana kita harus memiliki orientasi dan mampu mengendarainya. Hidup memiliki banyak tikungan, bahkan jebakan di mana kita harus waskito (memiliki kepekaan, kecerdasan dan kesadaran).
Seorang teman karib di Yogya bilang: hidup Kiki merupakan ‘revolusi’ radikal dari dunia mitos (baca: jagat entertainment) ke jagat rasional (dunia birokrasi ekonomi). Dunia entertainment, kata sahabatku, adalah jagat yang dibalut mitos-mitos tentang popularitas, kehidupan serba gemerlap, serba mewah penuh buncah-buncah impian. Sedangkan dunia birokrasi keuangan/ekonomi semacam BEI adalah dunia realitas yang dibangun oleh kepastian: dunia yang menuntut rasionalitas karena semuanya serba terukur dan ternilai. Serem banget, rumusan itu.

Di tempat tinggalku di Jakarta, aku sering membayangkan rumahku yang tenang dan teduh di Yogya. Salah satu yang mengesankan adalah kue lapis yang selalu disediakan ibuku setiap pulang dari pasar. Ketika masih kanak-kanak, kue lapis itu seperti benda ‘ajaib’ yang sulit kubayangkan bagaimana cara membuatnya. Kini ‘kue lapis’ itu hadir kembali dari pita ingatanku. Kue lapis bernama cita-cita itu sudah terkelupas satu-persatu, hingga sampai pada lapisan terakhir.

Setiap lapisan ‘kue lapis’ itu merekam jejak perjalanku yang digenangi keringat kerja keras dan harapan sederhana: menjadi Manusia Kiki. Seutuhnya Kiki.

Dunia Pasar Modal Kiki


Berkecimpung di dunia pasar modal, apa yang dipelajari dari situ? ”My word is my bond.” ”Bond” yang dimaksud di sini pengertiannya khusus, yakni obligasi, semacam bentuk investasi yang aman karena menjanjikan kupon bunga yang tetap dan pengembalian sebesar nilai per kapita ketika jatuh tempo. ”Bisnis pasar modal adalah bisnis ’trust’, kepercayaan. Itu berlaku untuk semua hal.”

Jangan bayangkan yang mengungkapkan uraian serius itu pelaku pasar modal —sebuah dunia yang bagi yang kurang menguasai dunia finance atau keuangan adalah dunia yang kurang warna—oleh karenanya bisa dianggap menjemukan. Kurang lebih sama menjemukannya dengan penampilan banyak ekonom. Tidak. Yang mengungkapkan ini perempuan manis, tatapan matanya agak sayu, dulu pernah dikenal orang sebagai pemain sinetron dan model. Inilah dia, Kiki Widyasari.

Sekembali dari studi di Universitas Fresno di California di mana dia meraih gelar MBA, tahun 2004, Kiki tak lagi berkecimpung di dunia hiburan. Ia langsung masuk ke BEJ (Bursa Efek Jakarta), yang kini berganti nama menjadi BEI (Bursa Efek Indonesia).

Pernah disinggungnya suatu ketika, latar belakang dunia sinetron tak sepenuhnya menguntungkan ketika dia masuk ke dunia pasar modal. Ia merasa, orang meremehkannya. Suasana itu justru memicunya, untuk menunjukkan kompetensi. ”Setahun di situ saya meraih penghargaan The Best Employee,” katanya.

Sekarang ini, berhadapan dengan Kiki adalah berhadapan dengan sosok yang sebegitu tenggelam dalam kesibukan pasar modal. Matanya makin sayu, karena pekan lalu, beberapa hari dia kurang tidur. Katanya, tiap hari sampai dini hari dia begadang di kantor. ”Anak buah saya juga begitu,” katanya menunjuk para anak buahnya. Itu dikarenakan krisis keuangan global yang melanda dunia saat ini. ”Seharian ini, saya tidak duduk,” kata Kiki ketika ditemui Jumat (10/10) sore. Beberapa vitamin tambahan tampak di meja kerjanya.

Jabatannya di BEI sekarang adalah Corporate Secretary (Corsec)—suatu jabatan yang cukup strategis. Kalau di kabinet, posisi Corsec seperti posisi Sekretaris Kabinet. ”Banyak orang enggak tahu, dikira Corporate Secretary sama dengan Sekretaris Eksekutif...,” tutur Kiki sambil tertawa.

Sedang ”sale”

Tak terhindarkan, Kiki lebih banyak bicara mengenai gejolak pasar modal sekarang. Dengar rekamannya seperti ini: ”Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi tajam hingga level 1.451,669, atau turun sebesar 168,052 poin (-10,38%) dari penutupan hari sebelumnya. Nilai transaksi pada hari Rabu (8/10) yang tidak terlalu besar (hanya sekitar Rp 900 miliar, dibandingkan dengan rata-rata harian sekitar Rp 5 triliun) ternyata mampu menyebabkan penurunan indeks secara signifikan. Hal tersebut mendorong BEI memutuskan untuk men-suspend transaksi perdagangan Rabu hingga Kamis (9/10), untuk melindungi investor, baik ritel maupun institusi, dan kemungkinan terjadinya kepanikan pasar yang lebih buruk.”

Masih adakah yang meragukan kefasihan Kiki untuk dunia yang digulatinya saat ini? Masih berhubungan dengan gonjang-ganjing pasar modal itu, ada baiknya kita simak lebih lanjut uraiannya. Kata Kiki, ”Saya lihat media banyak memberitakan investor yang ikut panik dan berusaha menjual saham-saham yang dimilikinya. Banyak pihak yang kemudian menyalahkan otoritas bursa dan pemerintah atas kejadian tersebut. Yang ingin saya sampaikan adalah mungkin investor lupa bahwa basic principal yang harus dipahami sebelum melakukan investasi adalah setiap investasi mengandung risiko. High risk high return, low risk low return. Jadi, up and down dalam berinvestasi itu biasa.”

Dia menyinggung, bagaimana seharusnya menjadi investor yang cerdas. ”Belajar dari krisis yang lalu, banyak saham perusahaan-perusahaan bagus, harganya sudah tidak masuk akal. Saat itu, investor yang jeli justru membeli dan menikmati capital gain dari kembali naiknya harga-harga saham berfundamental baik tersebut. Seperti kita sedang shopping, market sedang terkoreksi seperti ini ibarat toko sedang sale, kalau kita yakin barangnya bagus ya beli ketika harga sedang murah,” nasihatnya.

Edukasi

Sepertinya, Kiki sangat mencintai dunia yang digulatinya sekarang. Ia akui itu. Pekerjaannya sekarang ini disebutnya sebagai sangat menantang. Dia juga menyinggung atasannya, Direktur Utama BEI Erry Firmansyah. ”Pak Erry bukan tipe yang suka menghambat kreativitas anak buahnya, saya bisa sampaikan dan diskusikan ide-ide pengembangan pasar yang bisa dilakukan.”

Mengenai pengembangan pasar itu, disinggung secara khusus oleh Kiki, yang salah satu bidang tugasnya memang termasuk edukasi pasar modal. Menurut dia, jumlah investor di Indonesia masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduknya. ”Satu persen saja belum tercapai,” ucapnya. Dia sempat menguraikan panjang lebar masalah ini, termasuk perbandingan dengan negara-negara lain.

Banyak faktor yang menyebabkan lambannya peningkatan jumlah investor di Indonesia. Salah satunya, kurangnya sumber daya manusia (SDM), bahkan seandainya di daerah hendak dikembangkan perusahaan sekuritas (maksudnya, agar orang tidak cuma mengenal bank untuk berinvestasi). ”BEI menyadari bahwa kekurangan SDM berlisensi di pasar modal harus segera dicarikan jalan keluar. Saat ini BEI sedang mempersiapkan pendirian sebuah sekolah tinggi pasar modal. Diharapkan sekolah tersebut nantinya mampu memenuhi kebutuhan akan SDM guna pengembangan pasar modal Indonesia ke depan, khususnya di daerah.”

Ah, cantik, mampu mencerahkan, apa lagi sih yang dicari Kiki?

”Pasti mau bertanya kenapa Kiki masih men-jomblo ya?” tebaknya jitu. Dia memberi jawaban dalam bahasa Inggris, yang maksudnya kurang lebih, merasa belum menemukan seseorang di mana dia bakal menghabiskan seluruh sisa hidupnya. ”Saya akan menikah ketika saya benar-benar menginginkannya,” katanya.

Nah, seperti indeks harga saham, Anda bisa mengira-ngira sendiri, bakal makin terjangkau atau tidak....

Bre Redana
Kompas - Minggu, 12 Oktober 2008 |